Menelisik Asal Usul Suku Bajo

Asal-usul Suku Bajo, atau yang biasa dijuluki dengan istilah manusia perahu, terdiri dari beberapa versi. Versi yang paling terkenal adalah bahwa Suku Bajo berasal dari para prajurit kerajaan Johor, Malaysia yang diperintahkan oleh raja mereka untuk mencari putri raja yang hilang di laut lepas. Dikabarkan bahwa pada masa itu sang putri raja bertamasya mengarungi lautan Nusantara. Tapi karena satu dan lain sebab, akhirnya sang putri hilang dan ktak kembali. Maka, atas titah raja, beberapa prajurit kerajaan ditugasi untuk mencari sang putri yang hilang dengan catatan tak boleh kembali ke kerajaaan apabila sang putri belum ditemukan.

Singkat cerita, karena sang putri tak juga ditemukan, akhirnya para prajurit itu memutuskan untuk tak kembali ke kerajaan dan memilih untuk menetap di perahu mengikuti arah angin yang membawa perahu mereka. Maka dari sinilah dimulai sebuah perantauan tak berujung. Hal ini menjadi yang kemudian menjadi cikal bakal adanya suku Bajo yang kemudian tinggal di atas perahu dan berpindah-pindah dan menyebar hingga seluruh nusantara.  

Versi lain menyatakan bahwa Suku Bajo berasal dari Vietnam dan Philipina. Argumen ini didasarkan pada banyaknya kemiripan bahasa yang digunakan Suku Bajo dengan bahasa Tagalog di Philipina dan Vietnam. 

Nama “Bajo” sendiri bukanlah nama asli dari suku ini. Suku Bajo menyebut diri mereka sebagai Suku Same, sementara sebutan untuk orang diluar suku mereka, mereka menyebutnya dengan istilah Suku Bagai. Kata Bajo sendiri oleh beberapa kalangan diyakini berasal dari kata yang berkonotasi bajak laut. Meski banyak kalangan yang membantah konotasi ini, menurut tutur yang berkembang bahwa pada jaman dahulu banyak dari bajak laut yang memang berasal dari Suku Same, yakni satu suku yang memang hidup dan tinggal di perahu ini dan menyebar hingga ke seluruh nusantara. Sehingga, suku laut apa pun di bumi nusantara ini kerap di sama artikan sebagai suku Bajo. 

Pada Suku Bajo, dikenal empat kelompok masyarakat yang didasarkan pada karakteristik mereka dalam kaitannya dengan aktifitas mereka di lautan. Empat kelompok masyarakat ini dikenal dengan sebutan sebagai berikut;
  1. Kelompok Lilibu; yakni Suku Bajo yang biasanya mengarungi lautan hanya satu dua hari untuk mencari ikan dan jarak melautnya pun tidak terlalu jauh. Setelah ikan didapat, kelompok ini biasanya segera ‘pulang’ untuk bertemu keluarganya. Perahu kyang digunakan oleh kelompok ini biasanya berukuran kecil yang bernama soppe dan dikendalikan menggunakan dayung.
  2. Kelompok Papongka; yakni Suku Bajo yang bisa dikenali dengan aktifitas melautnya yang hanya seminggu dua minggu saja untuk mencari ikan. Perahu yang digunakan oleh kelompok ini hampir sama dengan kelompok Lilibu. Hanya saja, berbeda dengan kelompok Lilibu, jarak tempuh mereka bisa lebih jauh dan keluar pulau. Bila dirasa telah memperoleh hasil atau kehabisan air bersih, mereka akan menyinggahi pulau-pulau terdekat. Setelah menjual ikan-ikan tangkapan dan mendapat air bersih, mereka pun kembali ke laut. 
  3. Kelompok Sakai; yakni Suku Bajo yang memiliki kebiasaan mencari ikan yang wilayah kerjanya jauh lebih luas. Bila kelompok Papongka hitungannya hanya keluar pulau, maka kelompok Sakai hitungannya sudah antar pulau. Sehingga, waktu yang dibutuhkan pun lebih lama. Mereka bisa berada di “tempat kerja”nya itu selama sebulan atau dua bulan. Karena itu, perahu yang digunakan pun lebih besar dan saat ini umumnya telah bermesin. 
  4. Kelompok Lame; yakni Suku Bajo yang bisa dikategorikan nelayan-nelayan yang lebih modern. Mereka menggunakan perahu besar dengan awak yang besar dan mesin bertenaga besar. Karena, mereka memang bakal mengarungi laut lepas hingga menjangkau negara lain. Dan, mereka bisa berada di lahan nafkahnya itu hingga berbulan-bulan. 


Kepercayaan dan Adat Istiadat Suku Bajo
Meskipun Suku bajo beragama Islam, namun mereka masih hidup dalam dimensi leluhur. Budaya mantera-mantera, sesajen serta kepercayaan roh jahat masih mendominasi kehidupan mereka. Peran dukun masih sangat dominan untuk menyembuhkan penyakit serta untuk menolak bala atau memberikan ilmu ilmu. Orang Bajo sangat mempercayai setan-setan yang berada di lingkungan sekitarnya. Rumah dan dapur-dapur mereka. Mereka percaya pantangan-pantangan dan larangan, seperti misalnya larangan meminta kepada tetangga seperti minyak tanah, garam, air atau apapun setelah magrib. Mereka juga percaya dengan upacara tebus jiwa. Melempar sesajen ayam ke laut. Artinya kehidupan pasangan itu telah dipindahkan ke binatang sesaji. Ini misalnya dilakukan oleh pemuda yang ingin menikahi perempuan yang lebih tinggi status sosialnya. Masyarakat Suku Bajo menyebut rumah palemana atau rumah di atas perahu. Karena masyarakat Suku Bajo bermukim dan mencari nafkah diatas laut. Karena itulah mereka mendapat julukan sebagai manusia perahu.

Menurut masyarakat Suku Bajo bahwa pemanasan global sekarang, orang-orang Bajo kesulitan memantau perubahan iklim. Padahal biasanya mereka sangat presisi dalam mengantisipasi. Gelombang pasang, letusan gunung berapi bisa diprediksi jauh hari sebelumnya. Untuk berlayar di siang hari, pada saat mereka tidak bisa melihat pantai, mereka mengandalkan ombak dan angin. Pada malam hari, bintang bintanglah yang menunjukan jalan. Mereka menyebut bintang itu mamau atau karangita. Mamau atau karangita bisa menjadi penunjuk arah yang dituju. Suku Bajo, memiliki keyakinan penuh atas sebuah ungkapan, bahwa Tuhan telah memberikan bumi dengan segala isinya untuk manusia. Keyakinan tersebut tertuang dalam satu Falsafah hidup masyarakat Bajo yaitu, ‘Papu Manak Ita Lino Bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana‘, artinya Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, kita sebagai manusia yang memikirkan bagaimana cara memperoleh dan mempergunakannya. Sehingga laut dan hasilnya merupakan tempat meniti kehidupan dan mempertahankan diri sambil terus mewariskan budaya leluhur suku Bajo. Dalam suku Bajo, laki-laki atau pria biasa dipanggil dengan sebutan Lilla dan perempuan dengan sebutan Dinda.